Halaman

ASKEP (Asuhan Keperawatan) SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

 

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

      Sistem kekebalan tubuh (Imunitas) adalah suatu organ komplek yang memproduksi sel-sel yang khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran darah dari sel darah merah, tetapi bekerja sama dalam melawan infeksi penyakit ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh. Semua sel imun mempunyai bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem imun dan diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah kelenjar yang dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan titik pertemuan dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing yang masuk kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat berupa bakteri, virus, jamur ataupun bahan kimia. Respon tubuh terhadap imun pada dasarnya berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses ini terganggu maka akan terjadi gangguan patologis.

1.2  Rumusan Masalah

1.     Bagaimana anatomi sistem imun?

2.     Apa definisi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

3.     Bagaimana etiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

4.     Bagaimana patofisiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

5.     Apa manifestasi klinis dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

6.     Apa klasifikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

7.     Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

8.     Bagaimana evaluasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

9.     Bagaimana penatalaksanaan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

10.  Bagaimana komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?

11.  Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?


1.3  Tujuan

1.3.1  Tujuan Umum

Mahasiswa sebagai calon perawat yang professional diharapkan mengerti dan memahami penyakit imunologi SLE, Reaksi Hipersensitivitas dan Steven Johnson Syndrome serta mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem imunologis dengan tepat.

1.3.2  Tujuan Khusus

Mengetahui anatomi, definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan keperawatan yang tepat untuk gangguan sistem imunologis.

 


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Anatomi Sistem Imun

      Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibodi, dan fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan.

      Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor




Letak sistem imun


 

 

 

 

Fungsi sistem imun

1.     Sumsum

      Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.

2.     Thymus

      Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/ mematangkan T limfosit yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit dapat berrespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas T limfosit.

a.     Limfosit T sitotoksik

      Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal.

b.     Limfosit T helper

      Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika distimulasi oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper melepas faktor yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit.

c.     Limfosit B

      Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai antibodi/ humoral. Ketika distimulasi oleh antigen spesifik limfosit B akan berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang memproduksi antibodi.

d.     Sel plasma

      Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit lain, memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak, aktif memproduksi antibodi.

3.     Getah bening

      Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan dan para-aorta daerah.

4.     Nodus limfatikus

      Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe bergerak melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit.

5.     Tonsil

      Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan tonsil pharyngeal.

6.     Limpa/ spleen

      Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah, merusak eritrosit dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih.

a.     Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit.

b.     Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag.

      Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi limfosit.

 

 

 

 

 

 

 

 

2.2  SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

2.2.1 Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi, ginjal, paru-paru serta jantung (Glade, 1999).

SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun, teteapii jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya tidak diketahui, penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100 mg+vitamin E 10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana, 2007).

Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal, selaput serosa permukaan, dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai perempuan muda dan anak-anak. 90% penderita penyekit SLE adalah perempuan.

Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik, seperti siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menentukan terapi yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.

2.2.2 Etiologi

Antibody anti Ro dan anti La dapat menyebabkan sindrom lupus neonates dengan melinttasi plasenta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok jantung congenital.

Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antaral ain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu yaitu Crq, Cir, Cis, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T, immunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mampunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan sepertiwijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

 

2.2.3 Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

 

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut: adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

 

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun

 

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

 

2.2.4 Epidemiologi

Keadaan ini susah didiagnosis. Lupus terjadi kira-kira 1 dari 700 wanita berumur 15-64 tahun. Pada wanita kulit hitam, lupus terjadi pada 1 dari 254 wanita. Lupus lebih sering menyerang wanita daripada pria, khususnya wanita berusia 20 dan 40 tahun. Tidak ada obat untuk lupus. Pengobatan bersifat individual dan biasanya berupa minum steroid. Ada baiknya tidak hamil ketika anda mengalami serangan lupus. Wanita penderita lupus berisiko tinggi mengalami keguguran. Juga risiko lahir mati, yang memerlukan perawatan ekstra selama kehamilan.

Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam. Mereka juga mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini mungkin lahir premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan intrauterine.

2.2.5 Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala: gambaran klinik SLE sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien SLE lainnya. Gejala terjadi dimulai dengan timbulnya demam akibat adanya satu infeksi. Gejalanya hilang-hilang timbul selama berbulan-bulan dan bertaun-tahun yang diselingi demam dan badan lemah.

Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang epilepsy, dan gangguan kejaiwaan ssering merupakan keluhan awal.

1.              Gejala pada persendian

Mulai dari keluhna nyeri pad abanyak persendian yang hilang-hilang timbul sampai keluhan nyeri sendi yang akut, merupakan keluhan awal pada 90% penderita SLE. Dalam keadaan SLE berlangsung lama, terjadi erosi sendi tulang telapak kaki. Namun demikian, kebayakan SLE yang menyerang banyak sendi, tidak memperlihatkan kerusakan sendi.

2.              Gejala pada kulit

Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi berbentuk kupu-kupu yang disebut butterfly erithema. Lesi kulit berbentuk makulo papul pad kulit muka samapi ke leherdan bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau menjadi borok. Tetapi lesi pada rahang atas pada pertemuan bagian lunak dan bagian keras, pada daerah pipi bagian dalam dan bagian depan rongga hidung, bisa terjadi.

Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala (generalize focal alopecia) terjadi pada fase aktif SLE. Timbul bintik-bintik merah pendarahan (purpura) karena sel pebeku darah turun (trombositopeni). Penderita mengeluh silau pada sinar yang terang (photophobi). Bebrapa penderita SLE memperlihatlan gejala pleuritis yang hilang timbul (recurrent) yaitu peradangan dinding dada dan selaput paru hingga penderita mengeluhkan sakit dada, tetapi tidak ada efusi cairan pada rongga paru.

Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan mengancam kehidupan (fatal). Peradangan selaput pembungkus jantung (pericarditis) sering terjadi pada penderita SLE. Peradangan pembuluh darah jantung (coronary arteri vasculitis) atauotot jantung megalami fibrosis (fibrosing myocarditis). Timbul pembengkakan elenjar limfe di seluruh tubuh terutamapadapenderita anak-anak dan dewasa muda (umur 20 tahunan). Pembesaran limfe terjadi pada 10% penderita SLE.

3.              Gejala gangguan saraf pusat

Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang epilepsy, psikosis, gangguan organic pada otak

4.              Gangguan ginjal

Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif dan mematikan. Gejala yang serign ditemukan pada pemeriksaan laboratorium air seni, terdapat protein (proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada injal, peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif glomerulopritis).

Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut SLE (Acute lupus homo pagosotik syndrome). Pada keadaan ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk mengatasi kelainan ini, biasanya penderita berespons baik terhadap pemberian obat kortkosteroid.

 

2.2.6. Klasifikasi SLE

Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the American Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee tahun 1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.

Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara 11 kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval observasi:

1.         Ruam di bagian malar wajah

2.         Ruam berbentuk discoid

3.         Fotosensitivitas

4.         Ulkus di mulut

5.         Arthritis

6.         Setositis (pleuritis, perikarditis)

7.         Gangguan ginjal

8.         Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)

9.         Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia)

10.      Gangguan imunologi

11.      Antibody nuclear

R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat kriteria diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit ginjal), ANA Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral ulcers (ulkus di mulut), Immunological disorder, Neurological disorder, Malar rash, Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

2.2.7 Pemeriksaan penunjang

SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menunjukkan berbagai manifestasi, paling sering berupa arthritis. Dapat juga timbul manifestasi di kulit, ginjal, dan neurologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakkan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi; yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody (ANA, tetapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antidouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukurannya bermanfaat untuk menilai ruam pada lupu. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipid penting untuk diukur karena meningkatkna risiko pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Periode aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis. Keterlibatan ginjal sering kali disalahartikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan titer antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu mengarahkan pada ruam.

Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan peningkatan risiko keguguran.

 

Temuan pada pemeriksaan laboratorium

1.     Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA), positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE

2.     Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan SLE

3.     Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE

4.     Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE

5.     Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita SLE atau Lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibody antinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analisa urine, komplemen 3 dan 4. Pada pemeriksaan diagnostic yang dilakukan adalah biopsy ginjal.

2.2.8 Evaluasi diagnostic

Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat komplet dan analisis pemeriksaan darah; tidak ada satu pemeriksaan laboratorium yang menguatkan SLE.

2.2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronis:

1.     Mencegah penurunan progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan, dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan

2.     Gunakan obat-obat antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid

3.     Gunakan kortikosteroid topical untuk manifestasi kutan akut

4.     Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggi tradisional

5.     Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal, dan sistemik ringan dengan obat-obat antimalaria

6.     Preparat imunosupresif (percobaab) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

2.2.10 Komplikasi

1.     Ginjal

Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di dalam sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.

2.     Sistem Saraf

Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi

3.     Penggumpalan Darah

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlha trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.

4.     Kardiovaskuler

Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis maupun mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.

5.     Paru-paru

Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibatnya dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.

6.     Otot dan kerangka tubuh

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendia pada jari tangan, tangan, pergelangantangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut

7.     Kulit

Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

 

2.2.11 Asuhan Keperawatan

Kasus:

Seorang perempuan bernama Ny. Y usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri, dan terasa kaku seluruh persendian terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik diperoleh ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi pada daerah leher, malaise. Klien mengatakan terdapat beberapa sariawan pada mukosa mulut. Klien ketika bertemu dengan orang lain selalu menunduk dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80 mmHg, RR 20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,5, Hb 11gr/dl, WBC 15.000/mm3.

 

a.     Pengkajian

1)    Identitas klien

Nama               : Ny. Y

Usia                 : 35 tahun

Alamat             : Surabaya

Pekerjaan        : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan      : SMA

Agama             : Islam

Status               : menikah

 

2)    Keluhan utama

Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan, saat beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa demam. Pipi dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah.

 

3)    Riwayat penyakit sekarang

Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil namun setelah satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan berkurang nafsu makan karena ada sariawan.

 

4)    Riwayat penyakit dahulu

Tidak ada

 

5)    Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

 

6)    Pemeriksaan fisik

a)     TTV

TD            : 110/80 mmHg

RR            : 20x/menit

S               : 38,5

N               : 90x/menit

 

b)    Pemeriksaan fisik per sistem

B1 (Breath)

RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri

 

B2 (Blood)

TD 110/80 mmHg

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

B3 (Brain)

Gangguan psikologis

B4 (Bladder)

Tidak ada

 

B5 (Bowel)

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

B6 (Bone)

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.

7)    Pemeriksaan penunjang

a)     Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA), positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE

b)    Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan SLE

c)     Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE

d)    Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE

e)     Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.

 

b.     Analisis data

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

Ds:

Nyeri pada sendi dan bagian yang mengalami kemerahan

Do:

Klien terlihat menahan nyeri

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

SLE

Kerusakan jaringan

Nyeri kronis

Nyeri

Ds:

Klien mengeluhkan demam

Do:

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

terjadi reaksi inflamasi

peningkatan suhu tubuh

Peningkatan suhu tubuh

Ds:

Klein mengatakan tidak nafsu makan

Do:

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

Adanya stomatitis di mukosa mulut

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

SLE

menyerang hati

kesalahan sintesa zat yang dibutuhkan tubuh

perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Gangguan pemenuhan nutrisi tubuh

Ds:

Nyeri pada sendi dan bagian yang mengalami kemerahan

Klien mengeluhkan mudah lelah ketika beraktivitas

Do:

Klien terlihat menahan nyeri

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

SLE

menyerang darah

Hb menurun

Suplai oksigen menurun

ATP menurun

Keletihan

Keletihan

Ds:

Nyeri pada sendi dan bagian yang mengalami kemerahan

Do:

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

Kulit kering dan kemerahan

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

SLE

menyerang kulit

kerusakan integritas kulit

Gangguan integritas kulit

Ds:

Nyeri pada sendi dan bagian yang mengalami kemerahan

Do:

Klien terlihat menahan nyeri

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

SLE

arthritis

gangguan mobilitas fisik

Gangguan mobilitas fisik

Ds:

Klien mengatakan malu terhadap kemerahan pada pipi dan leher

Do:

TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit

S 38,5

N 90x/menit

Klien menunduk saat memasuki UGD

 

Genetic, lingkungan, hormone, obat tertentu

Produksi autoimun berlebih

Autoimun menyerang organ tubuh

SLE

menyerang kulit

kerusakan integritas kulit

Gangguan citra tubuh (body image)

Gangguan citra tubuh

 

 

 

c.     Diagnosa Keperawatan

1.     Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)

2.     Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

3.     Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kronis pada sendi

4.     kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit

5.     kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

6.     gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi

7.     gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis

 

d.     Intervensi

Dx: nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)

Ds:

Kelelahan

Do:

1.     Gangguan aktivitas

2.     Anoreksia

3.     Menahan napas

NOC

NIC

1.     Comfort level

2.     Pain control

3.     Pain level

Setalh dilakukan tindakan keperawatan selama 24jam nyeri kronis pasien berkurang dengan kriteria hasil:

1.     Tidak ada gangguan tidur

2.     Tidak ada gangguan konsetrasi

3.     Tiadak ada gangguan hubungan interpersonal

4.     Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan secara verbal

5.     Tidak ada tegangan otot

Pain management

1.     Monitor kapuasan pasien terhadap manajemen nyeri

2.     Tingkatkan istirahat dan tisur yang adekuat

3.     Kelola antianalgesik

4.     Jelaskna pada klien penyebab nyeri

5.     Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi, masase punggung)

 

Dx: peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

Ds:

Suhu tubuh meningkat

Do:

1.     Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal

2.     Kulit kemerahan

3.     Pertambahan RR

4.     Kulit terasa panas

NOC

NIC

Thermoregulasi

Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama 24 jam pasien menunjukkan:

Suhu tubuh dalam batas normal dengan kriteria hasil:

1.     Suhu 36-37

2.     Nadi dan RR dalam renatang normal

3.     Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, klien merasa nyaman

1.     Monitor suhu seseirng mungkin

2.     Monitor warna dan suhu kulit

3.     Monitor TD, nadi dan RR

4.     Monitor WBC, Hb, dan Hct

5.     Monitor intake dan output

6.     Berikan antipiretik sesuai advis dokter

7.     Selimuti klien

8.     Berikan cairan intravena

9.     Kompres klien pada lipat paha dan aksila

10.  Tingkatkan sirkulasi udara

11.  Tingkatkan sirkulasi udara

12.  Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

13.  monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban mukosa

 

Dx: ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada mukosa mulut

Ds:

1.     nyeri abdomen

2.     muntah

3.     kejang perut

4.     rasa penuh tiba-tiba setelah makan

Do:

1.     kurang nafsu makan

2.     bising usus berlebih

3.     pucat 

NOC

NIC

a.     nutritional status: adequacy of nutrient

b.     nutritional status: food and fluid intake

c.     weight control

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam nutrisi kurang teratasi dengan indicator:

1.     albumin serum

2.     prealbumin serum

3.     hematokrit

4.     hemoglobin

5.     total iron binding capacity

6.     jumlah limfosit

1.     kaji adanya alergi makanan

2.     kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentuka jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan klien

3.     yakinkah dietyang dimakan megandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi

4.     ajarkan klien bagaimana membuat catatatan makanan harian

5.     monitor adanya penurunan BB dan gula darah

6.     monitor lingkungan selama makan

7.     jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan

8.     monitor turgor kulit

9.     monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Hct

10.  monitor mual dan muntah

11.  monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan kojungtiva

12.  monitor intake nutrisi

13.  informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi

14.  kolaborasikan dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan

15.  atur posisi semifowler tinggi selama makan

16.  kelola pemberian antiemetic

17.  anjurkan banyak minum

18.  pertahankan terapi IV line

19.  catat adanya edema, hiperemik, hipertonik, papila lidah dan cavitas oral

 

Dx: kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit

Ds:

1.     kelelahan

2.     meningkatnya komplain fisik

3.     secara verbal menyatakan kurang energi

Do:

1.     penurunan kemampuan

2.     ketidakmampuan mendapatkan energy sesudah tidur

3.     kurang energy

4.     ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas

NOC

NIC

1.     activity tolerance

2.     energy conservation

3.     nutritional status: energy

setelah dilakukan tidnakan keperawatan selama 2x24 jam kelelahan pasien teratasi dengan kriteria hasil:

1.     kemampuan aktivitas adekuat

2.     mempertahankan nutrisi adekuat

3.     keseimbangan aktivitas dan istirahat

4.     menggunakan tehnik energy konservasi

5.     mempertahankan interaksi sosial

6.     mengidentifikasi faktor fisik dan psikologis yang menyeabbkan kelelahan

7.     mempertahankan kemampuan untuk konsentrasi

1.     monitor respon kardiorespirasi terhadap aktivitas (takikardi, disritmai, dispnea, diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik dan jumlah respirasi)

2.     monitor dan catat pola dan jumlah tidur klien

3.     monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama bergerak dan aktivitas

4.     monitor intake nutrisi

5.     monitor pemberian dan efek samping obat depresi

6.     instruksikan pada klien untuk memcatat tanda dan gejala kelelahan

7.     jelaskan pada klien hubungan kelelahan dengan proses penyakit

8.     kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan intake makanan tinggi energy

9.     dorong klien dan keluarga mengekspresikan perasaannya

10.  catat aktivitas yang dapat meningkatkan kelelahan

11.  anjurkan klien melakukan yang meningkatkan relaksasi

12.  tingkatkan pembatasan bedrest dan aktivitas

13.  batasi stimulasi lingkungan untuk memfasilitasi relaksasi

 

Dx: kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

Do:

1.     gangguan pada bagian tubuh

2.     kerusakan lapisan kulit

3.     gagguan permukaan kulit

NOC

NIC

1.     tissue integrity: skin and mucous membrane

2.     wound healing: primer dan sekunder

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kerusakan integritaskulit berkurang dengan kriteria hasl:

1.     intergritas kulit yang baik bisa dipertahankan (Sensai, elastisitas, temperature, hidrasi, pigmentasi)

2.     tidak ada luka/lesi pada kulit

3.     perfusi jaringan baik

4.     menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kult dan mencegah terjadinya cedera berulang

5.     mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami

6.     menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

1.            anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar

2.     Hindari kerutan pada tempat tidur

3.     Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

4.     Mobilisasi klien (ubah posisi klien) setiap dua jam sekali

5.     Monitor kulit akan adanya kemerahan

6.     Oleskan lotion atau minyak pada daerah yang tertekan

7.     Monitor aktivitas dan mobilisasi klien

8.     Monitor status nutrisi klien

9.     Memandikan klien dengan sabun dan air hangat

10.  Kaji lingkungna dan peralatan yang menyebabkan tekanan

11.  Observasi luka: lokas, dimensi, kedalaman luka, karakteristik, warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda infeksi lokal, formasi traktus

12.  Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luak

13.  Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKT, vitamin, cegah kontaminasi feses dan urin

14.  Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril

15.  Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka

 

 

Dx: gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi

Ds:

Klien mengatakan nyeri ketika berjalan

Do:

1.     penurunan waktu reaksi

2.     kesulitan merubah posisi

3.     perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepata, kesulitas memulai langkah pendek)

4.     keterbatasan motorik kasar dan halus

5.     keterbatasan ROM

6.     gerakan disertai napas pendek atau tremor

7.     ketidakstabilan posisi selama menggunakan ADL

8.     gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi

NOC

NIC

1.     joint movement: active

2.     mobility level

3.     self care: ADLs

4.     transfer performance

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:

1.     klien meningkat dalam aktivitas fisik

2.     mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

3.     memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

4.     memperagakan penggunaan alat bantu mobilisasi

Exercise therapy: ambulation

1.     monitor vital sign sebelum/sesudah latian dan lihat respon pasien saat latihan

2.     konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan

3.     bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera

4.     ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain tentang tehnik ambulasi

5.     kaji kemampuan klien dalam mobilisasi

6.     latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

7.     damping dan bantu jika klien memerlukan

8.     ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

 

Dx: gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis

Ds:

1.     depersonalisasi bagian tubuh

2.     perasaan negatif tentang tubuh

3.     secara verbal menyatakan perubahan gaya hidup

Do:

1.     perubahan actual struktur dan fungsi tubuh

2.     kehilangan bagian tubuh

3.     bagian tubuh tidak berfungsi

NOC

NIC

1.     body mage

2.     self esteem

setelah dilakukan perawatan 2x24 jam gangguan body image klien berkurang dengakriteria hasil:

1.     body image positif

2.     mampu mengidentifikasi kekuatan personal

3.     mendeskripsikan secara factual perubahan fungsi tubuh

4.     mempertahankan interaksi sosial

Body image enchancement

1.     kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya

2.     monitor frekuensi mengkritik dirinya

3.     jelaskan tantang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit

4.     dorong klien mengungkapkan perasaannya

5.     identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu

6.     fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil

Tidak ada komentar:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel