Luka2 Adalah Tanda Sang Juara
Minggu, 07 Februari 2021
Mukjizat
Sudah terlanjur kita memaknai mukjizat sebagai kejadian luar biasa. Padahal sebenarnya kalau dilihat dari sudut pandang bahasa, kata mu'jiz itu artinya bukan keajaiban tapi artinya malah melemahkan.
Melemahkan apa?
Melemahkan argumentasi mereka yang tidak percaya atas kebenaran yang dibawa oleh seorang nabi.
Di masa umat terdahulu, biar orang pada percaya, maka dipertontonkanlah keghaiban-keghaiban yang sifatnya magic atas izin Allah.
Hafalan kita sejak SD bisa diputar ulang. Mukjizat Nabi Nuh bisa bikin bahtera dan banjir besar. Mukjizat Nabi Ibrahim tidak mempan dibakar api.
Lalu mukjizat Nabi Musa bisa belah laut dan tongkatnya jadi ular. Mukjizat Nabi Sulaiman bisa ngomong sama hewan dan punya jin. Mukjizat Nabi Isa adalah bisa ngomong sejak bayi dan seterusnya.
Kalau kejadian itu terjadinya pada yang bukan nabi disebut karamah. Kalau pada orang kafir disebut istidroj.
Bagaimana dengan mukjizat nabi kita?
Ada beberapa. Misalnya pernah air bisa keluar dari jemarinya, bulan bisa pecah, bisa ngumpet di Gua Tsur tidak kelihatan. Perang dibantu malaikat.
Namun dari semua itu mukjizat paling agung adalah Al-Quran. Itu kita sepakati.
Sayangnya, meski Al-Quran ada di depan mata kita, tapi nampaknya kemukjizatan Al-Quran kok sepertinya biasa-biasa saja, malah cenderung tidak terlalu nampak.
Buktinya orang pada biasa-biasa saja tuh, walaupun di depannya ada Al-Quran. Dibacakan dengan merdu, ternyata tidak otomatis jadi beriman.
Padahal di masa kenabian dulu, orang kafir musyrikin Mekkah itu pada klepek-klepek kalau dengar indahnya bacaan Qur'an. Mereka menolak hukumnya, tapi keindahan bahasanya susah dipungkiri. Dan itu dianggap mukjizat.
Tapi sekarang ini, mukjizat Qur'an nyaris tidak lagi kita rasakan. Dengar bacaan Quran, orang kafirnya nggak jadi klepek-klepek, dan orang muslimnya pun pada biasa-biasa saja. Mungkin juga karena sama-sama nggak paham. Wallahu a'lam
RUQYAH
Kalau pun mau lihat keunikan Qur'an, mungkin bisa coba perhatikan orang kesurupan yang lagi dibacakan Qur'an (ruqiyah). Kalau sudah waktunya, mulai bereaksi teriak-teriak atau marah-marah. Katanya, jinnya lagi berontak kepanasan dibacakan ayat Qur'an.
Coba nanti kita tanyakan ke peruqyah, jin yang pada berontak karena dibacakan Qur'an itu sebenarnya karena paham isi dan makna suatu ayat kah? Atau tidak paham?
Kalau tidak paham, tapi dibacakan Qur'an kok merasa kepanasan, nah itulah jadi hal ghaib. Dan itu bisa disebut mukjizat.
Maka ini jadi pertanyaan. Apakah nilai kemukjizatan Al-Quran sudah selesai? Dan apakah mukjizat hanya berlaku sebatas orang kesurupan jin saja?
AYAT SAINS
Mungkin sebagian akan bilang bahwa mukjizat Qur'an adalah banyaknya informasi sainstifik di dalamnya. Sudah banyak ulama menuliskan corak tafsir ilmi atau tafsir saintifik.
Walaupun sebenarnya keberadaan tafsir saintifik ini juga melahirkan perdebatan juga di kalangan ulama. Ada yang setuju bahwa Qur'an mengandung informasi teknologi modern. Tapi yang lain kurang sepakat.
Yang tidak sepakat bilang para ulama ahli Al-Quran (mufassir) kok malah tidak ada yang jadi penemu dunia sains. Katanya Qur'an berisi sains, lantas kenapa para penemunya kebanyakan malah bukan muslim.
Mereka jadi penemu bukan karena baca Quran. Orang nggak paham juga kok.
So, jadi dimanakah letak kemukjizatan Al-Quran?
Jawabannya tentu ada. Tapi kalau kesannya seperti tidak ada, maka mohon dimaklumi. Karena kelasnya agak beda. Konsumsi kemukjizatan Al-Quran ternyata lebih mengena buat mereka yang berilmu dan berakal.
Sedangkan buat orang awam, yang sukanya lihat adegan-adegan unik, nampaknya agak sulit.
Kalau saya ibaratkan seperti dunia lawak. Ada yang lucunya itu lucu berkelas, lucunya yang sambil mikir. Bukan lucu-lucuan versi adegan slapstik yang mentertawakan cacat fisik orang lain.
Gigi tonggos, badan kecil, hidung pesek, bicara medhok, baju aneh, jadi banci, bicara gagap, kuping bolot, dan lainnya. Intinya sekedar mentertawakan kekurangan orang. Ini jenis lucu tapi kurang berkelas.
Memang lucu tapi sarkastik. Tapi memang lebih mudah dicerna dan banyak yang menikmati. Film bisu Charlie Chaplin meski tanpa dialog, bikin orang tertawa, versi modernnya ya Mr. Bean.
Tapi lucu yang lebih berkelas, memang tidak otomatis bikin semua orang tertawa. Kalau saya nonton stand-up komedi, saya dan istri sakit perut tertawa, tapi anak saya malah bingung. Lucunya yang mana?
Maka untuk bisa merasakan kemukjizatan Al-Quran yang rada berkelas itu, perlu diberi pengantar dan ulasan dasar. Setelah paham, nanti baru ngerti betapa agungnya Al-Quran.
Maka salah satu topik dalam ilmu Al-Quran adalah : I'jazul Quran.
Sumber= copypaste status fb ust.ahmad sarwat.LC
Sumber Fitnah
Para ulama yang ilmunya tinggi biasanya punya sikap yang cukup melegakan dan agama jadi mudah dalam persepektif mereka.
Tapi orang awam yang terbatas ilmunya, seringkali terjebak dengan ritual dan aturan yang terkesan kaku.
Kira-kira mirip kebijakan Nabi SAW dalam shalat tahajud vs shalat lima waktu. Banyak riwayat valid yang memastikan Nabi SAW tahajudnya sampai bikin kaki jadi bengkak.
Rupanya beliau membaca 3 surat paling panjang yaitu Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisa, semua sekaligus hanya dalam satu rakaat.
Sungguh luar biasa kualitas ibadah Beliau. Maka banyak para shahabat yang begitu dengar khabar bahwa Nabi SAW shalatnya amat panjang, langsung ingin praktek.
Lucunya prakteknya bukan sendirian, tapi 'main paksa' kepada banyak orang.
Salah satunya Mu'adz bin Jabal. Waktu mengimami jamaah di masjid, mungkin beliau lagi tinggi suasana ruhiyahnya, surat Al-Baqarah dibacanya sampai selesai sambil jadi imam.
Wah hebat dan keren sekali dong. Walaupun tidak sampai 3 surat, tapi bisa baca Al-Baqarah sampai selesai itu sesuatu banget. Itu equivalen dengan 2,5 juz lho.
Tapi . . .
Bukan dapat pujian dari Nabi Saw, malah langsung disemprot habis-habisan. Mu'adz dimarahi sampai dituduh oleh Nabi SAW sebagai tukang bikin fitnah.
Lho kok gitu sih Nabi? Shahabat ingin praktekkan ibadah yang berkualitas kok malah dimarahi. Bukankah Nabi SAW sendiri shalatnya jauh lebih lama dan panjang?
Ini ada apa sebenarnya?
Ternyata meski tahajud Nabi SAW itu panjang dan lama, tapi semua itu Beliau lakukan hanya sendirian. Tidak ngajak-ngajak orang, bahkan Aisyah istrinya pun tidak diajak.
Tidak ada cerita nyuruh-nyuruh orang, apalagi main paksa. Juga tidak pamer update-update status di tengah malam. Sama sekali tidak.
Tapi Mu'adz baca Al-Baqarah kok dimarahi?
Ternyata waktu itu Mu'adz lagi jadi imam shalat Isya. Tempatnya di masjid yang banyak jamaahnya. Kontak semua dongkol dalam hati. Malah sampai ada satu jamaah yang mufaroqoh, lalu lapor kepada Nabi Saw.
Orang shalat kok dilaporkan? Salahnya apa? Jangan-jangan si pelapor ini orang munafik? Yahudi yang menyusup atau liberalis atau Syiah, atau . . . .
Ternyata tidak, laporan bahwa Mu'adz jadi imam kelamaan itu diterima oleh Nabi. Yang melapor tidak dipersalahkan. Dan tindakannya bermufaroqoh dari shalat jamaah malah dibenarkan dalam syariat.
Padahal itu kan berarti dia membatalkan shalat berjamaah yang wajib lho itu. Tidak ikut shalat jama'ah kan diancam rumahnya mau dibakar oleh Nabi. Lha ini kok malah keluar dari shalat berjama'ah?
Mu'adz sebagai Imam itu salahnya apa? Kok yang salah justru Mu'adz?
Jelas sekali duduk perkaranya. Kalau untuk diri sendiri, mau ibadah sampai jungkir balik sih terserah saja. Bebas dan fine-fine saja. Sak karepmu Mas, kata orang Jogja. Seterah Luh, kata orang Betawi.
Tapi . . .
Tapi jangan sekali-kali kita mengukur orang lain dengan ukuran standar kita pribadi. Jangan dan jangan.
Dalam barisan shalat Isya' itu kan ada orang tua, anak-anak, orang sakit, orang yang punya hajat dan lainnya. Jangan baca Al-Baqarah juga lah.
Apakah kamu mau jadi biang fitnah wahai Muaz?
أفتان أنت يا معاذ؟
Copypaste dari fb ust.ahmad sarwat.LC
Jumat, 05 Februari 2021
Besaran Insentif Tenaga Kesehatan Tahun 2021 Tidak Berubah.
Melihat perkembangan Covid-19 yang masih sangat dinamis, pemerintah menyiapkan dukungan anggaran yang cukup besar untuk penanganan di bidang kesehatan. Anggaran kesehatan yang awalnya dialokasikan Rp169,7T diperkirakan bakal naik menjadi Rp254T.
Termasuk dalam anggaran kesehatan yaitu pemberian Insentif dan santunan kematian nakes, vaksinasi kepada nakes dan masyarakat, perawatan pasien, obat-obatan, biaya isolasi, biaya Tracking, Testing dan Treatment (3T), dan pengadaan alat kesehatan.
Selengkapnya pada tautan berikut ini 👇
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/kemenkeu-besaran-insentif-nakes-di-tahun-2021-tidak-berubah/
Kamis, 04 Februari 2021
Gampang Mencaci
Penyakit gampang mencaci-maki orang (ujaran kebencian) di medsos menurut hemat saya adalah penyakit kekanak-kanakan yang menunjukkan proses kematangan jiwa yang belum selesai.
Tindakan usil ketika tidak ada orang itu bisa dimaklumi, kalau dilakukan oleh kanak-kanak. Maklumlah namanya juga kanak-kanak, belum bisa mempertimbangkan akhlak baik dan buruk.
Kalau diingat-ingat, kita semua pernah mengalaminya juga. Dulu waktu masih jadi kanak-kanak.
Tapi kalau sampai dewasa, sikap usil kekanak-kanakan masih terus dikerjakan juga, jelas ada perkembangan psikologis yang perlu dicermati.
Mencaci-maki orang di medsos itu secara psikologis agak menipu. Karena secara fisik, orang yang kita caci memang tidak nampak di mata kita. Sehingga kita merasa amat leluasa mempertontonkan sikap dan perilaku tidak terpuji.
Mungkin pihak yang kita caci-maki memang tidak tahu secara langsng. Tapi biar bagaimana pun juga, apa yang kita lakukan dilihat banyak orang. Dan orang itu suka sekali dengan yang namanya adu domba.
Yang banyak tidak kita sadari bahwa tidak ada yang bisa ditutupi di medsos. Meski nama kita samaran, akun kita palsu, tapi siapa sebenarnya kita ini justru mudah sekali dilacak.
Buktinya orang yang terjerat kasus hukum gara-gara cuitan di medsos. Jumlahnya tidak berkurang malah terus bertambah.
Sebenarnya semua perkataan dan tindak-tanduk kita di medsos justru harus kita jaga dengan baik. Kita harus hati-hati dengan medsos ini.
Karena akan jadi media untuk mempertimbangkan nilai kita di mata orang. Calon mertua kalau mau tahu macam mana kelakuan calon mantu, cukup melihatnya di medsos. Semua perilaku akan jadi bahan penilaian.
Direktur HRD sebelum menentukan siapa pelamar yang akan diterima, akan menelusuri tindak-tanduk kita di medsos.
Pengurus masjid dan kajian, kalau rapat menentukan siapa ustadz yang dianggap layak dijadikan Nara sumber dan menguasai cabang ilmu tertentu, bisa dengan mudah mengenalinya lewat medsos si ustadz.
Kamu adalah medsosmu. Kamu akan dinilai orang lewat tindak-tandukmu di medsos. Kalau dulu nasehatnya : jagalah lidahmu karena lebih tajam dari pedang, sekarang sedikit disempurnakan menjadi : Jagalah medsosmu, karena bisa lebih tajam dari golok algojo.
Copy paste status fb ust.ahmad sarwat.lc
Rabu, 13 Januari 2021
Apakah Haditsnya Shahih?
Saya sering bingung menjawab pertanyaan simpel dari orang-orang: "Maaf Ustadz, mau izin bertanya, apakah hadits ini shahih?"
Buat sebagian kalangan mungkin pertanyaan semacam ini kelihatannya sederhana, tinggal jawab saja shohih atau tidak shohih.
Tetapi bagi saya justru pertanyaan seperti ini sangat tidak sederhana. Dan lebih tidak sederhana lagi adalah jawabannya.
Kenapa jadi tidak sederhana?
Karena meski jenjang S2 saya kontentrasi Ulumul Quran dan Ulumul Hadits, lantas sempat juga jadi murid Prof Dr. Ali Musthafa Ya'qub, Lc.,MA tapi tetap saja kami-kami ini tidak mampu menganalisa sendiri keshahihan suatu hadits.
Bahkan para guru dan profesor kami pun bilang bahwa mereka sendiri pun tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para muhaddits di generasi pertama.
Kalau pun kita bikin penelitian, paling jauh sekedar studi pustaka saja. Kita cuma nyontek dari kitab yang ditulis duluan oleh para ahli hadits di masa lalu.
Ujung-ujungnya kita semua hanya merujuk kepada ulama hadits profesional semacam Al-Bukhari, Muslim, Tirmizy dan lainnya. Kalau mereka bilang shahih, ya saya ikut saja bilang shahih. Setidaknya saya akan bilang hadits dengan lafazh seperti ini ada di dalam Shahih Al-Bukari dan termasuk kategori hadits shahih.
Maka pertanyaan orang awam itu seharusnya diluruskan redaksinya jadi begini: "Ustadz, mohon bantuan informasi, apakah pernah menemukan teks hadits ini di suatu kitab hadits. Dan apakah pernah ada studi terkait dengan status keshahihannya yang dilakukan oleh para ahli hadits sebelumnya?"
Nah, ini baru pertanyaaan yang benar. Jadi intinya jangan tanyakan keshahihan hadits itu kepada kita. Wong kita ini juga tidak tahu dan tidak mampu meneliti sendiri.
Tapi kalau pernahkah ada penelitian atas hadits ini sebelumnya yang dilakukan oleh para ahli hadits betulan, nah nanti bisa saya carikan rujukannya.
Dimana?
Ya, di perpustakaan lah. Masak di pasar. Yang bener aja ente.
Yang jadi catatan disini adalah pertanyaan apakah hadits ini shahih seringkali dijawab secara langsung shahih atau tidak shahih. Seolah-olah yang ditanya itu benar-benar seorang ahli hadits (muhaddits) yang secara langsung melakukan penelitian di lapangan dan mewawancarai langsung para perawi haditsnya secara fisik.
Padahal tidak ada seorang pun hari ini yang bisa melakukannya. Kan zamannya sudah lewat jauh. Para perawi hadits itu hidupnyaa ya di abad pertama dan kedua hijriyah. Sedangkan penelitian yang kita lakukan hari ini, sifatnya sebatas studi literatur saja. Cuma nyontek ke hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya.
Di zaman baheula penelitian pustaka dilakukan dengan cara ngamar secara fisik di dalam gedung perpustakaan. Tapi di zaman Google, tidak perlu lagi dilakukan secara tradisional. Cukup kita searching di ribuan buku digital secara online pakai HP.
Kitanya sendiri justru lagi nangkring di atas ojeg atau lagi nunggu busway, atau pun lagi asyik olah raga. Namanya juga studi literatur, objeknya cuma buku dan buku. Kalau semua bukunya sudah didigitalisasi bahkan sudah online, sudah tidak perlu lagi perpustakaan secara fisik. Dari manapun dan kapanpun bisa dilakukan penelitian.
Yang penting kita kuliah dulu, biar tahu dasar-dasar ilmu hadits. Setidaknya kenal dulu siapa saja para ahli hadits di masa lalu, sekaligus tahu juga semua kitab terkait periwayatan. Kalau modal dasarnya tidak punya, ya sama saja keledai memanggul kitab. Kitab doang banyak, bacanya kagak bisa.
Tapi kalau penelitian langsung sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits aslinya, tentu beda 180 derajat. Karena meneliti itu berarti harus mengecek perawi hadits itu satu per satu.
Maksudnya harus ketemu langsung si perawinya dan menilai langsung peri_kehidupannya dalam keseharian. Untuk sekedar bisa menilainya dari sisi al-'adalah dan ad-dhabht. Apakah si perawi ini berhak diberi nilai sebagai orang yang adil dan dhabith atau tidak.
Penilaian ini di awalnya sekali harus dilakukan dengan cara langsung turun ke lapangan, bukan studi kepustakaan. Di masa itu, tidak ada studi kepustakaan, karena belum ada yang menulis sebelumnya.
Kita sekarang kenapa bisa melakukan studi hanya di perpustakaan, karena sudah banyak hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, sejak berabad-abad yang lalu.
Jadi para ahli hadits di masa lalu memang punya peranan besar dalam menyediakan informasi terkait data-data si perawi. Namun jangan lupa pula, mereka pun juga sudah memberikan proses penilaian begitu banyak hadits yang siap pakai.
Ibarat penjual, mereka bukan hanya menjual bahan mentahnya, tetapi juga menjual makanan yang sudah makan siap santap. Sehingga kita tidak perlu memasaknya lagi. Selain jual beras, mereka jual nasi putih bahkan sudah jadi nasi goreng komplit.
Kita tinggal makan saja nasi gorengnya. Tidak perlu nasi goreng nya diaronin ulang. Buat apa nasi gorengnya dicuci pakai air macam beras mentah, terus dimasukkan ke rice cooker? Sama sekali tidak perlu.
Kalau pun mau masak dari awal, jangan nasi goreng, tapi masak dari beras atau dari padinya langsung. Tapi susahnya di tengah kota kayak gini, bagaimana cara kita menanam padi? Kan nggak ada sawahnya.
Yang dilakukan oleh para peneliti hadits di masa lalu itu ibarat bertanam padi. Menanam padi itu kudu turun langsung becek-becekan ke sawah.
Kita yang tinggal di kota, tidak perlu repot mau garap sawah, macul, matun, mengairi sawah, mainkan orang-orangan sawah. Tidak perlu lah itu. Cukup buka HP dan cari deh nasi goreng yang nilainya di atas 4,7. Lima belas menit nasi goreng datang.
"Permisi, nasi goreng"
"Ya pak, tolong gantung di handle pintu ya".
sumber: fb ust. Ahmad Sarwat, Lc https://www.facebook.com/ustsarwat
Selasa, 12 Januari 2021
Copas dri ust. Ahmat Sarwat.LC
Benci Tidak Boleh Jahat
Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). (QS. Al-Maidah : 2)
Petikan dari ayat kedua Surat Al-Maidah ini rasanya istimewa sekali. Allah SWT menegur para shahabat agar tidak berlaku aniaya kepada orang-orang yang mereka benci.
Konteksnya di masa itu orang musyrikin Mekkah memang sangat keterlaluan, karena menghasung hak-hak kaum muslimin untuk bisa berkunjung ke Baitullah Masjid Al-Haram.
Namun bersama dengan kebencian itu, justru Allah SWT menegur para shahabat agar berlaku adil kepada orang yang dibenci.
Larangan ini jelas sulit untuk dikerjakan. Kepada orang yang kita benci, kok kita malah dilarang berlaku zhalim. Padahal seharusnya, kalau kita mengikuti nafsu, mumpung dia pernah bikin gara-gara sama kita, lalu kita punya kesempatan balas dendam, maka bisa-bisa saja kita zhalimi.
Orang yang kita benci itu enaknya kan kita musuhi bersama-sama, atau setidaknya kita rampas uangnya, bisa juga kita bikin dia ketakutan, atau bisa juga kita intimidasi. Rasanya tuh puas di dada.
Ternyata perbuatan macam itulah yang justru dilarang Allah. Benci boleh, tapi berlaku zhalim kepada yang kita benci ternyata malah dilarang.
Sebagian mufassirin menceritakan bahwa turunnya ayat ini terkait dengan awal mula terjadinya Perjanjian Hudaibiyah. Nabi SAW dan seribu lima ratus shahabat berpanas-panas melintasi padang pasir menuju ke Baitullah dalam rangka umroh. Ternyata baru sampai di Hudaibiyah, rombongan umroh dihadang dan tidak boleh masuk ke Mekkah.
Akhirnya Nabi SAW dan para shahabat gagal total masuk Mekkah, dan terpaksa bertahallul dan sembelih hadyu hanya di luar kota Mekkah. Siapa yang tidak kesal ditolak masuk ke kampung halaman sendiri.
Maka setelah ditanda-tanganinya Perjanjian Hudaibiyah itu, ada beberapa kaum musyrikin yang terlihat hendak menunaikan umroh. Saat itu ada sebagian shahabat usul agar umat Islam menghalangi mereka pergi umroh. Lalu turunlah ayat ini.
Pelajaran dari ayat ini buat saya pribadi mengajarkan bahwa bermusuhan itu harus profesional dan adil, tidak asal sradak-sruduk seenak berok.


