Luka2 Adalah Tanda Sang Juara
Jumat, 05 Februari 2021
Besaran Insentif Tenaga Kesehatan Tahun 2021 Tidak Berubah.
Melihat perkembangan Covid-19 yang masih sangat dinamis, pemerintah menyiapkan dukungan anggaran yang cukup besar untuk penanganan di bidang kesehatan. Anggaran kesehatan yang awalnya dialokasikan Rp169,7T diperkirakan bakal naik menjadi Rp254T.
Termasuk dalam anggaran kesehatan yaitu pemberian Insentif dan santunan kematian nakes, vaksinasi kepada nakes dan masyarakat, perawatan pasien, obat-obatan, biaya isolasi, biaya Tracking, Testing dan Treatment (3T), dan pengadaan alat kesehatan.
Selengkapnya pada tautan berikut ini 👇
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/kemenkeu-besaran-insentif-nakes-di-tahun-2021-tidak-berubah/
Kamis, 04 Februari 2021
Gampang Mencaci
Penyakit gampang mencaci-maki orang (ujaran kebencian) di medsos menurut hemat saya adalah penyakit kekanak-kanakan yang menunjukkan proses kematangan jiwa yang belum selesai.
Tindakan usil ketika tidak ada orang itu bisa dimaklumi, kalau dilakukan oleh kanak-kanak. Maklumlah namanya juga kanak-kanak, belum bisa mempertimbangkan akhlak baik dan buruk.
Kalau diingat-ingat, kita semua pernah mengalaminya juga. Dulu waktu masih jadi kanak-kanak.
Tapi kalau sampai dewasa, sikap usil kekanak-kanakan masih terus dikerjakan juga, jelas ada perkembangan psikologis yang perlu dicermati.
Mencaci-maki orang di medsos itu secara psikologis agak menipu. Karena secara fisik, orang yang kita caci memang tidak nampak di mata kita. Sehingga kita merasa amat leluasa mempertontonkan sikap dan perilaku tidak terpuji.
Mungkin pihak yang kita caci-maki memang tidak tahu secara langsng. Tapi biar bagaimana pun juga, apa yang kita lakukan dilihat banyak orang. Dan orang itu suka sekali dengan yang namanya adu domba.
Yang banyak tidak kita sadari bahwa tidak ada yang bisa ditutupi di medsos. Meski nama kita samaran, akun kita palsu, tapi siapa sebenarnya kita ini justru mudah sekali dilacak.
Buktinya orang yang terjerat kasus hukum gara-gara cuitan di medsos. Jumlahnya tidak berkurang malah terus bertambah.
Sebenarnya semua perkataan dan tindak-tanduk kita di medsos justru harus kita jaga dengan baik. Kita harus hati-hati dengan medsos ini.
Karena akan jadi media untuk mempertimbangkan nilai kita di mata orang. Calon mertua kalau mau tahu macam mana kelakuan calon mantu, cukup melihatnya di medsos. Semua perilaku akan jadi bahan penilaian.
Direktur HRD sebelum menentukan siapa pelamar yang akan diterima, akan menelusuri tindak-tanduk kita di medsos.
Pengurus masjid dan kajian, kalau rapat menentukan siapa ustadz yang dianggap layak dijadikan Nara sumber dan menguasai cabang ilmu tertentu, bisa dengan mudah mengenalinya lewat medsos si ustadz.
Kamu adalah medsosmu. Kamu akan dinilai orang lewat tindak-tandukmu di medsos. Kalau dulu nasehatnya : jagalah lidahmu karena lebih tajam dari pedang, sekarang sedikit disempurnakan menjadi : Jagalah medsosmu, karena bisa lebih tajam dari golok algojo.
Copy paste status fb ust.ahmad sarwat.lc
Rabu, 13 Januari 2021
Apakah Haditsnya Shahih?
Saya sering bingung menjawab pertanyaan simpel dari orang-orang: "Maaf Ustadz, mau izin bertanya, apakah hadits ini shahih?"
Buat sebagian kalangan mungkin pertanyaan semacam ini kelihatannya sederhana, tinggal jawab saja shohih atau tidak shohih.
Tetapi bagi saya justru pertanyaan seperti ini sangat tidak sederhana. Dan lebih tidak sederhana lagi adalah jawabannya.
Kenapa jadi tidak sederhana?
Karena meski jenjang S2 saya kontentrasi Ulumul Quran dan Ulumul Hadits, lantas sempat juga jadi murid Prof Dr. Ali Musthafa Ya'qub, Lc.,MA tapi tetap saja kami-kami ini tidak mampu menganalisa sendiri keshahihan suatu hadits.
Bahkan para guru dan profesor kami pun bilang bahwa mereka sendiri pun tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para muhaddits di generasi pertama.
Kalau pun kita bikin penelitian, paling jauh sekedar studi pustaka saja. Kita cuma nyontek dari kitab yang ditulis duluan oleh para ahli hadits di masa lalu.
Ujung-ujungnya kita semua hanya merujuk kepada ulama hadits profesional semacam Al-Bukhari, Muslim, Tirmizy dan lainnya. Kalau mereka bilang shahih, ya saya ikut saja bilang shahih. Setidaknya saya akan bilang hadits dengan lafazh seperti ini ada di dalam Shahih Al-Bukari dan termasuk kategori hadits shahih.
Maka pertanyaan orang awam itu seharusnya diluruskan redaksinya jadi begini: "Ustadz, mohon bantuan informasi, apakah pernah menemukan teks hadits ini di suatu kitab hadits. Dan apakah pernah ada studi terkait dengan status keshahihannya yang dilakukan oleh para ahli hadits sebelumnya?"
Nah, ini baru pertanyaaan yang benar. Jadi intinya jangan tanyakan keshahihan hadits itu kepada kita. Wong kita ini juga tidak tahu dan tidak mampu meneliti sendiri.
Tapi kalau pernahkah ada penelitian atas hadits ini sebelumnya yang dilakukan oleh para ahli hadits betulan, nah nanti bisa saya carikan rujukannya.
Dimana?
Ya, di perpustakaan lah. Masak di pasar. Yang bener aja ente.
Yang jadi catatan disini adalah pertanyaan apakah hadits ini shahih seringkali dijawab secara langsung shahih atau tidak shahih. Seolah-olah yang ditanya itu benar-benar seorang ahli hadits (muhaddits) yang secara langsung melakukan penelitian di lapangan dan mewawancarai langsung para perawi haditsnya secara fisik.
Padahal tidak ada seorang pun hari ini yang bisa melakukannya. Kan zamannya sudah lewat jauh. Para perawi hadits itu hidupnyaa ya di abad pertama dan kedua hijriyah. Sedangkan penelitian yang kita lakukan hari ini, sifatnya sebatas studi literatur saja. Cuma nyontek ke hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya.
Di zaman baheula penelitian pustaka dilakukan dengan cara ngamar secara fisik di dalam gedung perpustakaan. Tapi di zaman Google, tidak perlu lagi dilakukan secara tradisional. Cukup kita searching di ribuan buku digital secara online pakai HP.
Kitanya sendiri justru lagi nangkring di atas ojeg atau lagi nunggu busway, atau pun lagi asyik olah raga. Namanya juga studi literatur, objeknya cuma buku dan buku. Kalau semua bukunya sudah didigitalisasi bahkan sudah online, sudah tidak perlu lagi perpustakaan secara fisik. Dari manapun dan kapanpun bisa dilakukan penelitian.
Yang penting kita kuliah dulu, biar tahu dasar-dasar ilmu hadits. Setidaknya kenal dulu siapa saja para ahli hadits di masa lalu, sekaligus tahu juga semua kitab terkait periwayatan. Kalau modal dasarnya tidak punya, ya sama saja keledai memanggul kitab. Kitab doang banyak, bacanya kagak bisa.
Tapi kalau penelitian langsung sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits aslinya, tentu beda 180 derajat. Karena meneliti itu berarti harus mengecek perawi hadits itu satu per satu.
Maksudnya harus ketemu langsung si perawinya dan menilai langsung peri_kehidupannya dalam keseharian. Untuk sekedar bisa menilainya dari sisi al-'adalah dan ad-dhabht. Apakah si perawi ini berhak diberi nilai sebagai orang yang adil dan dhabith atau tidak.
Penilaian ini di awalnya sekali harus dilakukan dengan cara langsung turun ke lapangan, bukan studi kepustakaan. Di masa itu, tidak ada studi kepustakaan, karena belum ada yang menulis sebelumnya.
Kita sekarang kenapa bisa melakukan studi hanya di perpustakaan, karena sudah banyak hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, sejak berabad-abad yang lalu.
Jadi para ahli hadits di masa lalu memang punya peranan besar dalam menyediakan informasi terkait data-data si perawi. Namun jangan lupa pula, mereka pun juga sudah memberikan proses penilaian begitu banyak hadits yang siap pakai.
Ibarat penjual, mereka bukan hanya menjual bahan mentahnya, tetapi juga menjual makanan yang sudah makan siap santap. Sehingga kita tidak perlu memasaknya lagi. Selain jual beras, mereka jual nasi putih bahkan sudah jadi nasi goreng komplit.
Kita tinggal makan saja nasi gorengnya. Tidak perlu nasi goreng nya diaronin ulang. Buat apa nasi gorengnya dicuci pakai air macam beras mentah, terus dimasukkan ke rice cooker? Sama sekali tidak perlu.
Kalau pun mau masak dari awal, jangan nasi goreng, tapi masak dari beras atau dari padinya langsung. Tapi susahnya di tengah kota kayak gini, bagaimana cara kita menanam padi? Kan nggak ada sawahnya.
Yang dilakukan oleh para peneliti hadits di masa lalu itu ibarat bertanam padi. Menanam padi itu kudu turun langsung becek-becekan ke sawah.
Kita yang tinggal di kota, tidak perlu repot mau garap sawah, macul, matun, mengairi sawah, mainkan orang-orangan sawah. Tidak perlu lah itu. Cukup buka HP dan cari deh nasi goreng yang nilainya di atas 4,7. Lima belas menit nasi goreng datang.
"Permisi, nasi goreng"
"Ya pak, tolong gantung di handle pintu ya".
sumber: fb ust. Ahmad Sarwat, Lc https://www.facebook.com/ustsarwat
Selasa, 12 Januari 2021
Copas dri ust. Ahmat Sarwat.LC
Benci Tidak Boleh Jahat
Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). (QS. Al-Maidah : 2)
Petikan dari ayat kedua Surat Al-Maidah ini rasanya istimewa sekali. Allah SWT menegur para shahabat agar tidak berlaku aniaya kepada orang-orang yang mereka benci.
Konteksnya di masa itu orang musyrikin Mekkah memang sangat keterlaluan, karena menghasung hak-hak kaum muslimin untuk bisa berkunjung ke Baitullah Masjid Al-Haram.
Namun bersama dengan kebencian itu, justru Allah SWT menegur para shahabat agar berlaku adil kepada orang yang dibenci.
Larangan ini jelas sulit untuk dikerjakan. Kepada orang yang kita benci, kok kita malah dilarang berlaku zhalim. Padahal seharusnya, kalau kita mengikuti nafsu, mumpung dia pernah bikin gara-gara sama kita, lalu kita punya kesempatan balas dendam, maka bisa-bisa saja kita zhalimi.
Orang yang kita benci itu enaknya kan kita musuhi bersama-sama, atau setidaknya kita rampas uangnya, bisa juga kita bikin dia ketakutan, atau bisa juga kita intimidasi. Rasanya tuh puas di dada.
Ternyata perbuatan macam itulah yang justru dilarang Allah. Benci boleh, tapi berlaku zhalim kepada yang kita benci ternyata malah dilarang.
Sebagian mufassirin menceritakan bahwa turunnya ayat ini terkait dengan awal mula terjadinya Perjanjian Hudaibiyah. Nabi SAW dan seribu lima ratus shahabat berpanas-panas melintasi padang pasir menuju ke Baitullah dalam rangka umroh. Ternyata baru sampai di Hudaibiyah, rombongan umroh dihadang dan tidak boleh masuk ke Mekkah.
Akhirnya Nabi SAW dan para shahabat gagal total masuk Mekkah, dan terpaksa bertahallul dan sembelih hadyu hanya di luar kota Mekkah. Siapa yang tidak kesal ditolak masuk ke kampung halaman sendiri.
Maka setelah ditanda-tanganinya Perjanjian Hudaibiyah itu, ada beberapa kaum musyrikin yang terlihat hendak menunaikan umroh. Saat itu ada sebagian shahabat usul agar umat Islam menghalangi mereka pergi umroh. Lalu turunlah ayat ini.
Pelajaran dari ayat ini buat saya pribadi mengajarkan bahwa bermusuhan itu harus profesional dan adil, tidak asal sradak-sruduk seenak berok.
Sabtu, 03 Oktober 2020
Perbandingan Klasifikasi Manusia dengan Orang Utan
Orang Utan Manusia
Kingdom: Animalia Animalia
Phylum: Chordata Chordata
Class: Mammalia Mammalia
Order: Primates Primates
Suborder: Haplorhini Haplorhini
Infraorder: Simiiformes Simiiformes
Family: Hominidae Hominidae
Subfamily: Ponginae Homininae
Genus: Pongo Homo
Species: Pongo pymaeus Homo sapiens
Senin, 21 September 2020
Penghinaan itu tidak selalu boleh didiamkan, sebab pada dasarnya penghinaan itu dosa. Maka harus dicegah.
ويل لكل همزة لمزة
"Celaka lah para pengumpat dan pencela".
Biar tidak celaka, umpatan dan celaan mereka kita hapus.
Kenapa diblokir?
Biar tidak bisa mengulangi lagi. Sebab kalau besok-besok dia baca ststus kita dan dia tidak suka, boleh jadi dia mengumpat dan mencela lagi.
Maksimal kita cegah biar tidak mencela di wall kita. Bahwa dia bikin status sendiri yang isinya mencela kita, itu urusan dia dan Tuhannya.
Kenapa, karena bisa juga nambah dosa. Sebab caci maki itu pastinya akan menimbulkan reaksi.
Orang yang tidak suka dicaci maki pastinya akan balas dengan cacian dan makian juga. Malah bisa lebih dahsyat.
Maka untuk hentikan semuanya, boleh didelete status/komen tersebut.
Sumber: fb ust.ahmad sarwat

