Halaman

Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Haditsnya Shahih?

 Apakah Haditsnya Shahih?

Saya sering bingung menjawab pertanyaan simpel dari orang-orang: "Maaf Ustadz, mau izin bertanya, apakah hadits ini shahih?"

Buat sebagian kalangan mungkin pertanyaan semacam ini kelihatannya sederhana, tinggal jawab saja shohih atau tidak shohih. 

Tetapi bagi saya justru pertanyaan seperti ini sangat tidak sederhana. Dan lebih tidak sederhana lagi adalah jawabannya.

Kenapa jadi tidak sederhana? 

Karena meski jenjang S2 saya kontentrasi Ulumul Quran dan Ulumul Hadits, lantas sempat juga jadi murid Prof Dr. Ali Musthafa Ya'qub, Lc.,MA tapi tetap saja kami-kami ini tidak mampu menganalisa sendiri keshahihan suatu hadits.

Bahkan para guru dan profesor kami pun bilang bahwa mereka sendiri pun tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para muhaddits di generasi pertama. 

Kalau pun kita bikin penelitian, paling jauh sekedar studi pustaka saja. Kita cuma nyontek dari kitab yang ditulis duluan oleh para ahli hadits di masa lalu. 

Ujung-ujungnya kita semua hanya merujuk kepada ulama hadits profesional semacam Al-Bukhari, Muslim, Tirmizy dan lainnya. Kalau mereka bilang shahih, ya saya ikut saja bilang shahih. Setidaknya saya akan bilang hadits dengan lafazh seperti ini ada di dalam Shahih Al-Bukari dan termasuk kategori hadits shahih.

Maka pertanyaan orang awam itu seharusnya diluruskan redaksinya jadi begini: "Ustadz, mohon bantuan informasi, apakah pernah menemukan teks hadits ini di suatu kitab hadits. Dan apakah pernah ada studi terkait dengan status keshahihannya yang dilakukan oleh para ahli hadits sebelumnya?"

Nah, ini baru pertanyaaan yang benar. Jadi intinya jangan tanyakan keshahihan hadits itu kepada kita. Wong kita ini juga tidak tahu dan tidak mampu meneliti sendiri. 

Tapi kalau pernahkah ada penelitian atas hadits ini sebelumnya yang dilakukan oleh para ahli hadits betulan, nah nanti bisa saya carikan rujukannya. 

Dimana? 

Ya, di perpustakaan lah. Masak di pasar. Yang bener aja ente. 

Yang jadi catatan disini adalah pertanyaan apakah hadits ini shahih seringkali dijawab secara langsung shahih atau tidak shahih. Seolah-olah yang ditanya itu benar-benar seorang ahli hadits (muhaddits) yang secara langsung melakukan penelitian di lapangan dan mewawancarai langsung para perawi haditsnya secara fisik.

Padahal tidak ada seorang pun hari ini yang bisa melakukannya. Kan zamannya sudah lewat jauh. Para perawi hadits itu hidupnyaa ya di abad pertama dan kedua hijriyah. Sedangkan penelitian yang kita lakukan hari ini, sifatnya sebatas studi literatur saja. Cuma nyontek ke hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya.

Di zaman baheula penelitian pustaka dilakukan dengan cara ngamar secara fisik di dalam gedung perpustakaan. Tapi di zaman Google, tidak perlu lagi dilakukan secara tradisional. Cukup kita searching di ribuan buku digital secara online pakai HP. 

Kitanya sendiri justru lagi nangkring di atas ojeg atau lagi nunggu busway, atau pun lagi asyik olah raga.  Namanya juga studi literatur, objeknya cuma buku dan buku. Kalau semua bukunya sudah didigitalisasi bahkan sudah online, sudah tidak perlu lagi perpustakaan secara fisik. Dari manapun dan kapanpun bisa dilakukan penelitian.

Yang penting kita kuliah dulu, biar tahu dasar-dasar ilmu hadits. Setidaknya kenal dulu siapa saja para ahli hadits di masa lalu, sekaligus tahu juga semua kitab terkait periwayatan. Kalau modal dasarnya tidak punya, ya sama saja keledai memanggul kitab. Kitab doang banyak, bacanya kagak bisa. 

Tapi kalau penelitian langsung sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits aslinya, tentu beda 180 derajat. Karena meneliti itu  berarti harus mengecek perawi hadits itu satu per satu.  

Maksudnya harus ketemu langsung si perawinya dan menilai langsung peri_kehidupannya dalam keseharian. Untuk sekedar bisa menilainya dari sisi al-'adalah dan ad-dhabht. Apakah si perawi ini berhak diberi nilai sebagai orang yang adil dan dhabith atau tidak. 

Penilaian ini di awalnya sekali harus dilakukan dengan cara langsung turun ke lapangan, bukan studi kepustakaan. Di masa itu, tidak ada studi kepustakaan, karena belum ada yang menulis sebelumnya.

Kita sekarang kenapa bisa melakukan studi hanya di perpustakaan, karena sudah banyak hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, sejak berabad-abad yang lalu. 

Jadi para ahli hadits di masa lalu memang punya peranan besar dalam menyediakan informasi terkait data-data si perawi. Namun jangan lupa pula, mereka pun juga sudah memberikan proses penilaian begitu banyak hadits yang siap pakai.

Ibarat penjual, mereka bukan hanya menjual bahan mentahnya, tetapi juga menjual makanan yang sudah makan siap santap. Sehingga kita tidak perlu memasaknya lagi. Selain jual beras, mereka jual nasi putih bahkan sudah jadi nasi goreng komplit. 

Kita tinggal makan saja nasi gorengnya. Tidak perlu nasi goreng nya diaronin ulang. Buat apa nasi gorengnya dicuci pakai air macam beras mentah, terus dimasukkan ke rice cooker? Sama sekali tidak perlu. 

Kalau pun mau masak dari awal, jangan nasi goreng, tapi masak dari beras atau dari padinya langsung. Tapi susahnya di tengah kota kayak gini, bagaimana cara kita menanam padi? Kan nggak ada sawahnya.

Yang dilakukan oleh para peneliti hadits di masa lalu itu ibarat bertanam padi. Menanam padi itu kudu turun langsung becek-becekan ke sawah.

Kita yang tinggal di kota, tidak perlu repot mau garap sawah, macul, matun, mengairi sawah, mainkan orang-orangan sawah. Tidak perlu lah itu. Cukup buka HP dan cari deh nasi goreng yang nilainya di atas 4,7. Lima belas menit nasi goreng datang.

"Permisi, nasi goreng"

"Ya pak, tolong gantung di handle pintu ya".

sumber: fb ust. Ahmad Sarwat, Lc https://www.facebook.com/ustsarwat

Benci Tidak Boleh Jahat

Copas dri ust. Ahmat Sarwat.LC

Benci Tidak Boleh Jahat

Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).  (QS. Al-Maidah : 2)

Petikan dari ayat kedua Surat Al-Maidah ini rasanya istimewa sekali. Allah SWT menegur para shahabat agar tidak berlaku aniaya kepada orang-orang yang mereka benci. 

Konteksnya di masa itu orang musyrikin Mekkah memang sangat keterlaluan, karena menghasung hak-hak kaum muslimin untuk bisa berkunjung ke Baitullah Masjid Al-Haram.

Namun bersama dengan kebencian itu, justru Allah SWT menegur para shahabat agar berlaku adil kepada orang yang dibenci.

Larangan ini jelas sulit untuk dikerjakan. Kepada orang yang kita benci, kok kita malah dilarang berlaku zhalim. Padahal seharusnya, kalau kita mengikuti nafsu, mumpung dia pernah bikin gara-gara sama kita, lalu kita punya kesempatan balas dendam, maka bisa-bisa saja kita zhalimi. 

Orang yang kita benci itu enaknya kan kita musuhi bersama-sama, atau setidaknya kita rampas uangnya, bisa juga kita bikin dia ketakutan, atau bisa juga kita intimidasi. Rasanya tuh puas di dada.

Ternyata perbuatan macam itulah yang justru dilarang Allah. Benci boleh, tapi berlaku zhalim kepada yang kita benci ternyata malah dilarang. 

Sebagian mufassirin menceritakan bahwa turunnya ayat ini terkait dengan awal mula terjadinya Perjanjian Hudaibiyah. Nabi SAW dan seribu lima ratus shahabat berpanas-panas melintasi padang pasir menuju ke Baitullah dalam rangka umroh. Ternyata baru sampai di Hudaibiyah, rombongan umroh dihadang dan tidak boleh masuk ke Mekkah.

Akhirnya Nabi SAW dan para shahabat gagal total masuk Mekkah, dan terpaksa bertahallul dan sembelih hadyu hanya di luar kota Mekkah. Siapa yang tidak kesal ditolak masuk ke kampung halaman sendiri.

Maka setelah ditanda-tanganinya Perjanjian Hudaibiyah itu, ada beberapa kaum musyrikin yang terlihat hendak menunaikan umroh. Saat itu ada sebagian shahabat usul agar umat Islam menghalangi mereka pergi umroh. Lalu turunlah ayat ini. 

Pelajaran dari ayat ini buat saya pribadi mengajarkan bahwa bermusuhan itu harus profesional dan adil, tidak asal sradak-sruduk seenak berok.

Teori Evolusi ?

 Perbandingan Klasifikasi Manusia dengan Orang Utan

Orang Utan                                    Manusia

Kingdom: Animalia                     Animalia

Phylum: Chordata                        Chordata

Class: Mammalia                         Mammalia

Order: Primates                            Primates

Suborder: Haplorhini                    Haplorhini

Infraorder: Simiiformes                Simiiformes

Family: Hominidae                       Hominidae

Subfamily: Ponginae                    Homininae

Genus: Pongo                               Homo

Species: Pongo pymaeus              Homo sapiens

Eid Mubarak 1440H


paduka.id mengucapkan "selamat hari raya idul fitri 1440H, mohon maap lahir&batin 🙏🤝"

May Day 2019

Selamat Hari Buruh Sedunia


nb: 🙏background picture hanya ilustrasi

Pilpres 2019

Dulu sy underestimated pada p.tantowi yahya yg senang nyanyi2 lagu country khas amerika, tp stelah lihat foto (paling kanan) sy jdi sedih sendiri pas th.80an sy masih balita, beliau sdh berusaha menyempurnakan islamnya dg wukuf di arofah,🍻

Pemilu Khilafah

Berikut tulisan dari seorang dosen,,,
Tidak Pernah Nyoblos

Sepanjang sejarah umat Islam, sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai zaman nabi palsu zaman sekarang, umat Islam belum pernah nyoblos.

Kalau nggak percaya, coba aja cek di kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah yang 15 jilid itu. Ini buku sejarah terlengkap, dari sejak Nabi Adam, bahkan sejak penciptaan alam semesta sampai terjadinya hari kiamat. Sampai sejarah yang belum terjadi pun sudah ditulisnya pula. Penulisnya, Ibnu Katsir (w. 774 H) memang rada nekat juga orangnya.

Selama masa khilafah Bani Umayah, Bani Abasiyah, Bani Utsmaniyah, umat Islam tidak pernah nyoblos. Rata-rata para khalifah itu diangkat dan menjabat karena faktor keturunan. 

Nah saya tidak tahu, seandainya nanti ada khilafah lagi, khalifahnya itu hasil coblosan apa karena keturunan?

Sebab di era modern, tidak ada orang jadi penguasa karena keturunan, bukan? Semua lewat coblosan. Nah, kalau begitu buat mereka yang pada ingin dirikan khilafah, kenapa tidak buka sistem pencoblosan saja? 


Soalnya kalau pakai sistem keturunan, kapan ya bisa jadi khalifahnya. Bapaknya Anda kan bukan khalifah? Kakek Anda apa lagi. Masak tiba-tiba Anda jadi khalifahnya? Bijimane cerita nye?

Jadi mau nggak mau pakai sistem coblos dulu lah sementara. Nanti 17 Apri selain coblos presiden dan wakil rakyat, sekalian tambahin satu coblosan lagi, yaitu setujukah NKRI diubah jadi khilafah? Biar gampang gak banyak cingcong, bikin pilihannya cuma 2 saja  yaitu setuju dan tidak setuju.

Siapa tahu ada yang setuju? Hitung-hitung sambil test the water, tawaran khilafah itu kira-kira ada yang beli nggak ya? Saya amat yakin pasti ada. Cuma yang kita nggak tahu, berapa sih jumlah pastinya? 

Saya penasaran aja sih ingin tahu. Jangan pakai klaim doang. Karena selain nggak jentel, juga tidak ilmiyah. Sumber data kok cuma pakai opini? Harusnya fakta real, salah satu lewat coblosan.

Bagaimana? Tertarik kah dengan ide saya?

Ahmad Sarwat,Lc.MA

Ekspansi Alien

Setelah pada debat kedua pada 17/feb 2019, capres #02 pada statemen penutupnya menegaskan bahwa beliau nasionalis & patriot, pernyataannya kurleb "daripada dikuasai asing maka lebih baik saya kuasai,,,

Rupanya capres #01 mulai gusar mendengar slentingan bahwa lahan NKRI 95++% sudah dikuasai elit & segelintir konglomerat. Maka selepas acara tersebut capres #01 juga selaku incumbent memutar otak bagaimana kalau ekspansi ke planet namex sampe zyrex. Akhirnya pada tanggal 21/feb/19 melalui kerjasama dengan asing(USA) pemerintah RI melepas roket spacex falcon IX untuk pemetaan sertifikasi planet luar itu. Dikarenakan bumi ber-flower sudah hampir habis dikuasai elit. 
"Daripada dikuasai Alien mending saya sertifikasi :)" #savage #memecomic #dagelan



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel